Konsep Dasar Imunologi
A. LATAR
BELAKANG
Sistem imun atau sistem pertahanan tubuh yang sangat
unik. Sistem ini menjaga manusia untuk dapat bertahan ditengah kepungan
mikroba. Sistem imun merupakan salah satu sistem yang menetukan tingkat
kesehatan seseorang. Sistem imun juga dipengaruhi oleh makanan, aktivitas, dan
tingkat stres. Namun benarkah sesederhana itu? Itulah mengapa kami menulis
makalah ini selain untuk memenuhi tugas Ilmu Dasar Keperawatan. Dan cabang ilmu
yang mempelajari tentang sistem imun, Imunologi akan kami paparkan dalam
makalah kami ini.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu
memahami dasar-dasar imunologi untuk kemudian mengembangkannya dan bersama
dengan ilmu-ilmu lainnya kita dapat menggunakannya untuk peningkatan kesehatan
masyarakat.
C. RUANG
LINGKUP MASALAH
Permasalahan yang diangkat meliputi Pengantar
Imunologi, Konsep Dasar Imunologi, Perkembangan Imunologi, dan Struktur dan
fungsi Imunoglobulin
A. PENGANTAR
Imunologi ialah ilmu yang mempelajari sistem imunitas tubuh manusia maupun
hewan, merupakan disiplin ilmu yang dalam perkembangannya berakar dari
pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi. Disfungsi sistem imun yang
berperanan dalam patogenesis berbagai penyakit semakin banyak diketahui,
misalnya AIDS atau Sindrom defisiensi imun didapat.
Dalam 20 terakhir ini terlihat perkembangan
yang sangat pesat dalam bidang imunologi seluler dan molekuler.
Penemuan-penemuan berbagai molekul yang berperanan dalam inflamasi dan respons
imun seperti mediator, sitokin dan
lain sebagainya telah dapat menjelaskan berbagai mekanisme respon
imun/inflamasi.
Pengetahuan imunologi yang maju telah dapat dikembangkan untuk menerangkan
patogenesis serta menegakkan diagnosis berbagai penyakit yang sebelumnya masih
kabur. Kemajuan dicapai dalam pengembangan berbagai vaksin dan obat-obat yang
digunakan dalam memperbaiki fungsi sistem imun dalam memerangi infeksi dan
keganasan, atau sebaliknya digunakan untuk menekan inflamasi dan fungsi sistem
imun yang berlebihan pada penyakit hipersensitivitas.
Pemikiran lain yang timbul dari kemajuan dalam bidang imunologi yaitu terapi
gen. Dengan menyisipkan gen yang defisien atau tidak ditemukan dalam tubuh,
diharapkan akan dapat memberikan responnya terutama dalam menanggulangi
penyakit defisiensi imun.
B. KONSEP DASAR IMUNOLOGI
1. Sistem Imunitas Tubuh
Yang dimaksudkan dengan ” sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup”. Berbagai bahan
organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati asal hewan, tumbuhan,
jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap dan
lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan hidup sehingga setiap saat
bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan berbagai
penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel tubuh yang menjadi tua dan
sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diingini dan perlu
disingkirkan.
Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh
tergantung dari kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau
antigen yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk
melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki
oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler
yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang,
kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan
organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel
induk dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel,
kemudian beredar dalam tubuh melalui darah,
sistem limfatik, serta organ limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum tulang
(organ limfoid primer ), dan limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid
sekunder ), dan dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan
sesuai dengan sifat dan fungsi masing-masing.
2. Pembagian
Sistem Imun
Terdapat 2 sistem imun yaitu sistem imun
nonspesifik dan spesifik yang mempunyai kerja sama yang erat dan yang satu
tidak dapat dipisahkan dari yang lain, sistem imun ini semuanya terdiri
dari bermacam-macam sel leukosit
( sel darah putih ).
a.
Sistem imun nonspesifik, disebut demikian karena telah ada dan berfungsi sejak lahir dan
merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroorganisme, serta dapat memberikan respon langsung terhadap antigen.
Sel-selnya terdiri dari sel
makrofag, sel NK ( Natural Killer ) dan sel mediator.
b.
Sistem imun spesifik, membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum
dapat memberikan responnya atau dengan kata lain sistem ini dapat menghancurkan
benda asing yang berbahaya bagi tubuh yang sudah dikenal sebelumnya ( spesifik
). Sel-selnya terdiri dari sel-sel
limfosit T dan B.
Sistem imun spesifik terdiri
dari sel limfosit , merupakan kunci pengontrol sistem imun. Sebetulnya
sistem ini dapat bekerja sendiri tanpa bantuan sistem imun nonspesifik.
Terdapat 2 macam yaitu: sistem imun
spesifik humoral ( sel B ), menghasilkan antibodi yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus dan bakteri, sedangkan sistem imun spesifik seluler ( sel T )
untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur,
parasit dan keganasan.
3. Lintas Arus Sel Limfosit
Sel
limfosit berdiferensiasi dan menjadi matang di organ limfoid primer untuk
kemudian masuk dalam sirkulasi darah. Sel B diproduksi dan menjadi matang dalam
sumsum tulang sebelum masuk dalam darah dan organ limfoid sekunder. Prekusor
sel T meninggalkan sumsum tulang, menjadi matang dalam timus sebelum bermigrasi
ke organ limfoid sekunder.
Limfosit
yang sudah ada dalam organ limfoid sekunder tidak tinggal di sana, tetapi
bergerak dari organ limfoid yang satu ke organ limfoid yang lain, saluran dalam
sistem limfatik dan darah ( GAMBAR ). Dari sirkulasi limfosit
memasuki organ limfoid sekunder atau rongga-rongga organ dan kelenjar limfe.
Resirkulasi tersebut terjadi terus menerus. Keuntungan dari resirkulasi
limfosit tersebut ialah bahwa sewaktu terjadi infeksi alamiah, akan banyak
limfosit berpapasan dengan antigen asal mikroorganisme. Keuntungan lain dari
resirkulasi limfosit ialah bahwa bila ada organ limfoid misalnya limpa yang
defisit limfosit karena infeksi, radiasi atau trauma, limfosit dari jaringan
limfoid lainnya melalui sirkulasi akan dapat dikerahkan ke dalam organ limfoid
tersebut dengan mudah. Hanya iradiasi yang mengenai seluruh tubuh akan dapat
menghentikan pertumbuhan sel sistem imun seluruhnya.
Pada
keadaan normal ada lintas arus limfosit aktif terus menerus melalui kelenjar
limfe, tetapi bila ada antigen masuk, arus limfosit dalam kelenjar limfe akan
berhenti sementara. Sel yang spesifik terhadap antigen ditahan dalam kelenjar
limfe untuk menghadapi antigen tersebut dan hal ini akan menimbulkan kelenjar
bengkak yang sering terjadi pada infeksi.
4. Sitokin atau Interleukin
Pada reaksi imunologik banyak substansi yang bekerja serupa hormon yang
dilepaskan oleh sel leukosit, yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang
mengatur respon imunologi lokal maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar.
Substansi tersebut secara umum dikenal dengan nama sitokin, yang kemudian pada tahun 1979 nama yang disepakati adalah
interleukin ( IL ) yang berarti
adanya komunikasi antar sel leukosit.
Sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas
nonspesifik misalnya IFN ( interferon
), TNF ( Tumor Necrotic Faktor ) dan IL-1 sedang yang lainnya terutama
berperanan pada imunitas spesifik. Pada yang akhir sitokin bekerja sebagai
pengotrol aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel. Produksi sel sistem imun
dikontrol oleh sitokin yang juga mengatur hematopoiesis yang secara kolektif
disebut Colony Stimulating Factor ( CSF
). Sitokin merupakan messenger
kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten.
Dewasa ini lebih dari 100 jenis sitokin yang sudah diketahui.
C. PERKEMBANGAN IMUNOLOGI
1. Konsep baru sistem imun
Pandangan sekarang: “ sistem imun tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan tubuh tetapi sistem
imun juga sebagai organ sensor seperti susunan saraf pusat ,yang bekerja sama
dengan sistem neuroendokrin untuk mempertahankan homeostasis”.
Sebelum menjadi konsep baru teori ini dinyatakan dalam bentuk hipotesis oleh
Husband (1995 ). Hal ini disebabkan adanya fakta-fakta yang menunjang
/mendukung hipotesis tersebut yaitu, bahwa sekitar 100 tahun yang lalu
ilmuwan fisiologi dari Perancis yaitu Claude Bernard mengobservasi tentang “ La fixite du milieu interieur est la
condition de la vie libre”. Selanjutnya oleh ilmuwan fisiologi dari
Amerika yaitu Walter B Cannon ( 1939 ), diterjemahkan sebagai homeostasis yang
kemudian didefinisikan sebagai suatu proses fisiologi di dalam tubuh yang
diperantarai oleh sistem saraf pusat untuk mengontrol pergerakan dan komposisi
cairan, pertumbuhan dan perbaikan jaringan, pemanfaatan energi dan menjaga agar
suhu tubuh tetap konstan, yang kemudian sering disebut sebagai aktivitas untuk
bertahan atau “cybernetics”.
Untuk
menguji kebenaran dari hipotesis tersebut di atas maka ditetapkan 3 kriteria
yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Harus ada regulasi antara sistem
imun dan sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat ini merupakan mediator
pada proses homeostasis.
2.
Interaksi antara ke 2 sistem
tersebut harus berlangsung 2 arah.
3.
Regulasi dari sistem imun juga harus berpengaruh pada
proses fisiologi lainnya
1. Regulasi sistem imun dan sistem neuroendokrin
Ada bukti-bukti yang menunjukkan Susunan Saraf Pusat berpengaruh atas
fungsi sistem imun baik langsung atau tidak langsung melalui sistem endokrin
atau hormon, yaitu:
Inervasi jaringan limfoid: Timus, limpa dan kelenjar limfe menerima inervasi
simpatetik non adrenergik yaitu mengontrol aliran darah melalui jaringan
limfoid, jadi pasti akan mempengaruhi arus lintas limfosit (sistem imun
spesifik).
Pituitrin/aksis Adrenal: Stres dapat mempengaruhi penglepasan hormon adrenokortikotropik ( ACTH ) dari pituitrin. Hal ini akan melepas
glukokortikoid yang bekerja imunosupresif. Juga limfosit memproduksi steroid
sebagai respon terhadap corticotrophin-releasing
factor, dan medula adrenal melepas katekolamin yang dapat mengubah gambaran migrasi leukosit dan
respon limfosit.
Endokrin dan regulasi neuropeptida: limfosit memiliki reseptor terhadap banyak hormon seperti insulin,
tiroksin, growth hormon dan somastostatin. Hormon-hormon tersebut dilepas
selama stres, memodulasi fungsi sel T dan B yang kompleks yang tergantung dari
kadar mediator.
2. Interaksi antara sistem imun dan neuroendokrin harus berlangsung 2 arah.
Hormon dan neurotransmiter merupakan messenger
molekul dari sistem neuroendokrin ke sistem imun apabila
ada perubahan dari lingkungan misalnya stres, sebaliknya sitokin berfungsi serupa pada sistem
imun terhadap sistem neuroendokrin apabila ada infeksi mikroorganisme ( antigen
), buktinya:
Tikus C57/BL adalah jenis yang resisten
terhadap infeksi parasit protozoa Leishmania major, untuk itu diperlukan
sistem imun spesifik seluler berupa dikeluarkanya substansi sitokin berupa IL-2
(Interleukin 2 ) dan IFN-g ( Interferon g ) oleh sel limfosit T. Dan ternyata tikus ini adalah jenis yang
menunjukkan respon yang rendah terhadap hormon kortikosteroid.
Sebaliknya tikus BALB/c sangat peka
terhadap infeksi parasit ini karena ternyata jenis tikus ini menunjukkan respon
yang tinggi terhadap hormon kortikosteroid. Padahal hormon ini justru
menyebabkan tertekannya sistem imun seluler, sehingga tidak terbentuk substansi
sitokin ( IL-2 dan IFN-g ) .
4. Pengaruh terhadap proses fisiologi lainnya akibat aktivasi sistem imun
Adanya respon akut yang ditunjukkan berupa
kerusakan jaringan setelah terjadinya infeksi sebetulnya merupakan manifestasi
dari tubuh dalam rangka mencapai homeostasis. Setelah infeksi maka sistem imun
akan teraktivasi dan akan melepaskan substansi sitokin seperti IL-1, IL-6 dan Interferon.Ternyata
sitokin-sitokin ini dengan sistem saraf pusat sebagai mediator, menghasilkan
gejala klinis yang bersifat fisiologis. Misalnya IL-1 dan IL-6 menyebabkan
demam dan tidak ada nafsu makan, bahkan IL-6 menyebabkan kelumpuhan dan
depresi, begitu juga dengan interferon dapat menyebabkan demam. anoreksia dan
vomiting. Semua jenis respon tersebut di atas sering disebut “ sickness behaviour”, dan
sesungguhnya karena gejala-gejala seperti inilah yang menyebabkan imunoterapi
menggunakan sitokin sering dihindari.
Dari penjelasan diatas yang didukung oleh data empiris
,maka hipotesis itu diterima sebagai konsep baru dari sistem imun. Tetapi dalam
hal ini konsep yang lama tentang sistem imun tidak ditinggalkan, karena pada
dasarnya konsep baru tersebut hanya sebagai pengembangan konsep lama. Kemudian
sesuai dengan ciri-ciri spesifik dari pengetahuan maka dari hasil penelitian
tersebut manusia berusaha untuk memanfaatkannya, atau sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba
memanipulasi dan menguasai alam, yaitu dengan cara memanipulasi
sistem imun dengan pemberian hormon atau sitokin untuk pengobatan atau
imunoterapi.
Dengan teknik rekombinan DNA, sitokin dapat
diproduksi dalam jumlah besar. Sesuai dengan peranan biologiknya, maka sitokin
dapat digunakan sebagai sebagai pengganti komponen sistem imun yang defisien
atau untuk mengerahkan sel-sel yang diperlukan dalam menanggulangi defisiensi
imun, merangsang sel sistem imun dalam respons terhadap tumor, infeksi virus
atau bakteri yang berlebihan. Antisitokin telah digunakan untuk mengontrol
penyakit autoimun dan pada keadaan dengan sistem imun yang terlalu aktif.
Terapi hormon juga banyak dilakukan pada manusia, tetapi untuk hewan hal ini
sering memberikan efek samping tidak baik bagi manusia, terutama ternak
yang dagingnya dikonsumsi manusia berupa residu hormon.
D. STRUKTUR DAN FUNGSI IMUNOGLOBULIN
1. Struktur Imunoglobulin
Imunoglobulin atau antibodi
adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada
hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang
mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18%
karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi
tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik
dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
Imunoglobulin dibagi menjadi 5
kelompok dalam bentuk gammaglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgE) dan dapat
dipisahkan melalui proses elektroforesa. Bila seseorang terkontaminasi dengan
antigen, maka akan terjadi proses imunoglobulin (antibodi) dan dengan
kontaminasi yang lebih jauh dengan antigen yang sama akan terbentuk kekebalan.
Seperti sudah dipaparkan diatas, pada manusia
dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik,
tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas
biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai
polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai
H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)
dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu unit)
terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu
ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris.
Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris
rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari
rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit
oleh ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan
oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A
(α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai
jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A
dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin
dapat dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar
menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L.
Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen
(antigen binding site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain
disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan
asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki
sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan,
misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel
makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi
sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit
dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal sampai bagian
sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar
susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu
rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2 tempat
pengikatan antigen.
2. Klasifikasi Imunoglobulin
Klasifikasi imunoglobulin
berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat molekul, masa paruh, dan
aktivitas biologik yang berbeda. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari
pada perbedaan antar kelas.
a.
Imunoglobulin G (Ig G) disebut juga
rantai – γ (gamma)
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat
H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan
berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh
jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan
yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%,
IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali
subkelas IgG3 yang hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat
komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2
> IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik
(ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul
IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan
antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit
antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada
subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.
b.
Imunoglobulin M disebut juga rantai –µ (mu)
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan
koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini
mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi
yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang
utama pada golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
c.
Imunoglobulin A (IgA) disebut juga rantai –α (alpha).
Adalah Imunoglobulin utama dalam sekresi selektif, misalnya pada susu, air
liur, air mata dan dalam sekresi pernapasan, saluran genital serta saluran
pencernaan atau usus (Corpo Antibodies). Imunoglobulin ini melindungi selaput
mukosa dari serangan bakteri dan virus. Ditemukan pula sinergisme antara IgA
dengan lisozim dan komplemen untuk mematikan kuman koliform. Juga kemampuan IgA
melekat pada sel polimorf dan kemudian melancarkan reaksi komplemen melalui
jalan metabolisme alternatif.
Tiap molekul IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas dua unit
polipeptida dan satu molekul rantai-J serta komponen sekretorik.
Sekurang-kurangnya dalam serum terdapat dua subkelas IgA1 dan IgA2. Terdapat
dalam serum terutama sebagai monomer 7S tetapi cenderung membentuk polimer
dengan perantaraan polipeptida yang disintesis oleh sel epitel untuk
memungkinkan IgA melewati permukaan epitel, disebut rantai-J. Pada sekresi ini
IgA ditemukan dalam bentuk dimer yang tahan terhadap proteolisis berkat
kombinasi dengan suatu protein khusus, disebut Secretory Component yang
disintesa oleh sel epitel lokal dan juga diproduksi secara lokal oleh sel
plasma.
d.
Imunoglobulin D (Ig D) disebut juga rantai –δ (delta)
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil
terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah
180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari
karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin
permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel
ini.
e.
ImunoglobulinE (IgE) disebut juga rantai –ε (epsilon)
Didalam serum ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. IgE apabila disuntikkan
ke dalam kulit akan terikat pada Mast Cells dan Basofil. Kontak dengan antigen
akan menyebabkan degranulasi dari Mast Cells dengan pengeluaran zat amin yang
vasoaktif. IgE yang terikat ini berlaku sebagai reseptor yang merangsang
produksinya dan kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan memicu respon alergi
Anafilaktik melalui pelepasan zat perantara.
Pada orang dengan hipersensitivitas alergi berperantara antibodi, konsentrasi IgE akan meningkat dan dapat muncul pada sekresi luar.
Pada orang dengan hipersensitivitas alergi berperantara antibodi, konsentrasi IgE akan meningkat dan dapat muncul pada sekresi luar.
Dihasilkan pada saat respon
alergi seperti asma dan biduran. Peranan IgE belum terlalu jelas.IgE berukuran
sedikit lebih besar dibandingkan dengan molekul IgG dan hanya mewakili sebagian
kecil dari total antibodi dalam darah. Daerah ekor berikatan dengan reseptor pada
sel mast dan basofil dan, ketika dipicu oleh antigen, menyebabkan sel-sel itu
membebaskan histamine dan zat kimia lain yang menyebabkan reaksi alergi.
Regio Fc dari IgE terikat pada
reseptor pada permukaan sel mast dan basofil. IgE yang terikat ini bertindak
sebagai reseptor antigen yang menstimulasi produksinya sehingga terbentuk
kompleks antigen-antibodi yang memicu terjadinya respon alergi tipe cepat
(anafilaksis) melalui pelepasan mediator. Pada orang dengan hipersensivitas
alergi yang diperantarai antibodi tersebut, IgE meningkat dengan cepat dan IgE
dapat terdapat pada sekresi eksternal. IgE serum juga meningkat secara tipikal
selama infeksi cacing.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
imunologi yang merupakan salah satu dari ilmu yang mempelajari tentang
alam/isinya, maka dalam penyusunnannya harus didasarkan sepenuhnya pada
kombinasi metode
deduktif-induktif, melalui suatu jembatan berupa proses pengembangan
hipotesis. Yang oleh John Jewey digolongkan sebagai “reflective thinking”. Bahkan akhirnya dianut sebagai metode
ilmiah modern yang dikenal sebagai metode “logico-hypotetico-verifikatif”.
Terlihat disini hakekat keilmuan dari
imunologi, bahwa ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan
kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai
manfaat bagi kehidupan, dianggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam keluarga
keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, itu tidak
terlalu penting selama mempunyai kegunaan. Seperti ucapan bahwa dalam ilmu sekiranya ditemukan kebenaran baru
tidak lalu menyalahkan yang terdahulu, melainkan hanya mengucapkan selamat
jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Husband,A.J.1995. The immune system and integrated homeostasis. Immunology and Cell
Biologi, 73:377-382.
Roit, I.M.1991. Essential Immunology, 7nd ed. Blackwell Scientific Publication. London.
Suriasumantri, J,S. 1998. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar
Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Tizard, I. 1992. Veterinary Immunology, 4th ed. Saunder
College Publishing. Philadelphia.
thanks for sharing.
BalasHapusObat Perangsang Wanita
Obat Kuat Pria
Obat Pelangsing Badan
Obat Pembesar Penis
Obat Penggemuk Badan
Obat Peninggi Badan
Obat Penyubur Sperma
obat perangsang
Obat Perangsang Cair
Obat Perangsang Serbuk
Obat Perangsang Oles
Parfum Perangsang
Permen Perangsang